CAPAIAN PEMBELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK DAN BUDI PEKERTI Fase A Usia Mental ≤ 7 Tahun, Kelas I dan kelas II
CAPAIAN PEMBELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK DAN BUDI PEKERTI Fase A (Usia Mental ≤ 7 Tahun, Umumnya Kelas I dan kelas II)
Mekaelektronika Mata Pelajaran
Pendidikan Agama Katolik dan Budi Pekerti Pendidikan pada
dasarnya merupakan tanggung jawab utama dan pertama orang tua,
demikian pula dalam hal pendidikan iman anak. Pendidikan iman
pertama-tama harus dimulai dan dilaksanakan di lingkungan
keluarga, tempat anak mulai mengenal dan mengembangkan iman.
Pendidikan iman yang dimulai dalam keluarga perlu dikembangkan
lebih lanjut dalam Gereja (Umat Allah), dengan bantuan pastor
paroki, katekis, dan guru Pendidikan Agama Katolik di Sekolah
Luar Biasa (SLB).
Manusia adalah mahkluk ciptaan yang bermartabat luhur, diciptakan
secara istimewa oleh Allah dan disebut sebagai Citra Allah (bdk.
Kej 1:26) dengan segala kekhasan yang dimiliki. Gereja pada
prinsipnya menegaskan pentingnya pendidikan bagi semua orang tanpa
kecuali, termasuk penyandang disabilitas, atau anak berkebutuhan
khusus. Dalam Alkitab, kita menemukan banyak hal tentang bagaimana
kasih Allah dinyatakan kepada setiap manusia ciptaan-Nya. Selama
hidupNya, Yesus telah memperlihatkan kasih Allah dengan “membuat orang buta melihat, orang lumpuh berjalan, orang kusta menjadi tahir, orang tuli mendengar…” (bdk: Luk 7:22; 4:18-19). Dalam kelemahan dan penderitaan-Nya, Yesus Kristus
memancarkan sukacita dan harapan akan Kerajaan Allah. Dimensi
biblis-eklesiologis yang menjadi dasar pandangan ini ialah
gambaran Gereja sebagai Tubuh Kristus. Tubuh Kristus merangkul
setiap pribadi, baik kelebihan dan kekurangannya. Setiap anggota
merupakan bagian dari Tubuh Kristus (1 Kor 12); masing-masing
merupakan bagian dari satu Tubuh, sesuai perannya. Dalam Tubuh
Kristus, tidak ada tempat bagi anggota yang mengklaim paling
berjasa; justru yang tampak lemah memberi peran penting. Dalam
perspektif ini, pribadi disabilitas diterima sebagai kekayaan
dalam komunitas. Disabilitas ditempatkan dalam kerangka formasi
kematangan pribadi dalam komunitas: Setiap orang perlu belajar
menerima kelemahannya dalam hidup bersama. Keterbatasan fisik dan
mental bukan alasan yang mengurangi keluhuran martabat seseorang
sebagai anggota persekutuan. Dalam hal inilah, Konsili Vatikan II
dalam pernyataannya tentang Pendidikan Kristen (Gravisium Educationis) menandaskan bahwa, “Semua orang dari suku, kondisi atau usia manapun juga, berdasarkan martabat
mereka selaku pribadi mempunyai hak yang tak dapat diganggu gugat atas pendidikan....”
Semangat dan perhatian Gereja pada pendidikan di SLB sejalan
dengan semangat negara Indonesia dalam mewujudkan pendidikan yang
berlandaskan pada nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945. Negara
menjamin hak setiap peserta didik untuk memperoleh pendidikan iman
sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing. Hal tersebut
ditegaskan lagi pada Undang-undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang
Penyandang Disabilitas. Negara Kesatuan Republik Indonesia
menjamin kelangsungan hidup setiap warga negara, termasuk menjamin
hak para penyandang disabilitas untuk memperoleh pendidikan. Salah
satu bentuk perwujudannya adalah dengan menyelenggarakan
pendidikan iman (agama) secara formal di SLB, di antaranya,
melalui Mata Pelajaran Pendidikan Agama Katolik dan Budi Pekerti
bagi peserta didik berkebutuhan khusus dengan hambatan
intelektual. Hal ini dimaksudkan untuk mengembangkan potensi
peserta didik secara optimal sesuai kemampuannya.
Belajar Pendidikan Agama Katolik dan Budi Pekerti mendorong
peserta didik menjadi pribadi beriman yang mampu menghayati dan
mewujudkan imannya dalam kehidupan sehari-hari. Mata pelajaran
Pendidikan Agama Katolik dan Budi Pekerti membekali peserta didik
dengan pengetahuan, sikap, dan keterampilan yang bersumber dari
Kitab Suci, Tradisi, Ajaran Gereja (Magisterium), dan pengalaman
iman peserta didik. Kurikulum Pendidikan Agama Katolik dan Budi
Pekerti diharapkan mampu mengembangkan kemampuan mengenal,
mengetahui, memahami, menghayati, mengungkapkan, mensyukuri, dan
mewujudkan iman para peserta didik. Mata pelajaran Pendidikan
Agama Katolik dan Budi Pekerti disusun secara terencana dan
berkesinambungan dalam rangka mengembangkan kemampuan peserta
didik untuk memperteguh iman dan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang
Maha Esa sesuai ajaran iman Gereja Katolik, dengan tetap
memperhatikan penghormatan terhadap agama dan kepercayaan lain.
Hal ini dimaksudkan juga untuk menciptakan hubungan yang harmonis
antar umat beragama dalam masyarakat Indonesia yang majemuk demi
terwujudnya persatuan nasional berdasarkan nilai-nilai semangat
Pancasila dan UUD 1945.
Tujuan
Mata Pelajaran Pendidikan Agama Katolik dan Budi
Pekerti. Mata pelajaran Pendidikan Agama Katolik dan Budi Pekerti
bertujuan:
1. agar peserta didik memiliki pengetahuan, keterampilan, dan
sikap membangun hidup yang semakin beriman (beraklak mulia);
2. membangun hidup beriman Kristiani yang berarti membangun
kesetiaan pada Injil Yesus Kristus, yang memiliki keprihatinan
tunggal, yakni Kerajaan Allah. Kerajaan Allah merupakan situasi
dan peristiwa penyelamatan, situasi dan perjuangan untuk
perdamaian dan keadilan, kebahagiaan dan kesejahteraan,
persaudaraan dan kesetiaan, serta kelestarian lingkungan hidup;
dan
3. mendidik peserta didik menjadi manusia paripurna yang
berkarakter mandiri, bernalar kritis, kreatif, bergotong royong,
dan berkebinekaan global sesuai dengan tata paham dan tata nilai
yang diajarkan dan dicontohkan oleh Yesus Kristus sehingga
nilai-nilai yang dihayati dapat tumbuh dan membudaya dalam sikap
dan perilaku peserta didik (Profil Pelajar Pancasila).
Karakteristik
Mata Pelajaran Pendidikan Agama Katolik dan Budi
Pekerti Mata pelajaran Pendidikan Agama Katolik dan Budi Pekerti
diorganisasikan dalam lingkup empat elemen
konten dan tujuh
kecakapan. Empat elemen konten tersebut adalah:
Elemen
Deskripsi
Pribadi Peserta Didik
Elemen ini membahas tentang diri sebagai lakilaki atau
perempuan yang memiliki kemampuan dan keterbatasan,
kelebihan dan kekurangan, yang dipanggil untuk membangun
relasi dengan sesama serta lingkungannya sesuai dengan
Tradisi Katolik.
Yesus Kristus
Elemen ini membahas tentang pribadi Yesus Kristus yang
mewartakan Allah Bapa dan Kerajaan Allah, seperti yang
terungkap dalam Kitab Suci Perjanjian Lama dan Perjanjian
Baru, agar peserta didik berelasi dengan Yesus Kristus dan
meneladani-Nya.
Gereja
Elemen ini membahas tentang makna Gereja agar peserta
didik mampu mewujudkan kehidupan menggereja.
Masyarakat
Elemen ini membahas tentang perwujudan iman dalam hidup
bersama di tengah masyarakat sesuai dengan Tradisi
Katolik.
Kecakapan dalam mata pelajaran Pendidikan Agama Katolik dan Budi
Pekerti adalah mengenal, mengetahui, memahami, menghayati,
mengungkapkan, mensyukuri, dan mewujudkan. Dengan memiliki
kecakapan mengenal, mengetahui, dan memahami, peserta didik
diharapkan memiliki pengenalan, pengetahuan, dan pemahaman ajaran
iman Katolik yang otentik. Kecakapan menghayati membantu peserta
didik memiliki penghayatan iman Katolik sehingga mampu
mengungkapkan dan mensyukuri iman dalam berbagai ritual ungkapan
iman dan pada akhirnya mampu mewujudkan iman dalam kehidupan
sehari-hari di masyarakat. Kecakapan ini merupakan dasar
pengembangan konsep belajar Pendidikan Agama Katolik dan Budi
Pekerti.
Capaian Pembelajaran Mata Pelajaran Pendidikan Agama Katolik dan Budi Pekerti
pendidikan khusus mengacu pada peserta didik berkebutuhan khusus
dengan hambatan intelektual. Peserta didik berhambatan intelektual
yang dimaksud adalah tunagrahita, autis, tunanetra dengan hambatan
intelektual, tunarungu dengan hambatan intelektual, dan tunadaksa
dengan hambatan intelektual. Oleh karenanya, Capaian Pembelajaran
Pendidikan Agama Katolik dan Budi Pekerti bagi peserta didik
berkebutuhan khusus yang mempunyai hambatan intelektual atau
retardasi mental diklasifikasikan menjadi enam fase berdasarkan
usia mental. Adapun keenam fase usia mental tersebut adalah: fase
A umumnya usia mental ≤
7 tahun untuk kelas I dan kelas II, fase B umumnya usia mental ± 8
tahun untuk kelas III dan kelas IV, fase C umumnya usia mental ± 8
tahun untuk kelas V dan kelas VI, fase D umumnya usia mental ± 9
tahun untuk kelas VII, kelas VIII dan kelas IX, fase E umumnya
usia mental ±10 tahun untuk kelas X, dan fase F umumnya usia
mental ±10 tahun untuk kelas XI dan kelas XII. Capaian
Pembelajaran Mata Pelajaran Pendidikan Agama Katolik dan Budi
Pekerti setiap Fase A (Usia Mental ≤ 7 Tahun, Umumnya Kelas
I dan kelas II). Pada akhir fase A, peserta didik dapat mengenal bahwa dirinya
dicintai Tuhan, mengenal anggota tubuhnya, merawat anggota
tubuhnya (pola hidup sehat, bersih, dan santun berpakaian),
mengenal kisah kelahiran Yesus, mengenal sikap berdoa dan membuat
tanda salib, mengenal diri dan keluarganya, mengenal diri dan
temannya di lingkungan rumah, mengenal kisah Keluarga Yesus
tinggal di Nazaret, mengenal doa Bapa Kami dan doa Salam Maria.
Pada akhirnya peserta didik dapat menghayati, mensyukuri dan
mewujudkan apa yang dipelajarinya dalam kehidupan seharihari. Fase
A Berdasarkan Elemen:
Elemen
Deskripsi
Pribadi Peserta Didik
Peserta didik mampu mengenal bahwa dirinya dicintai Tuhan
dengan berbagai macam anugerah yang telah didapatkannya,
antara lain anggota tubuh dan keluarga; serta mewujudkan
rasa syukur dengan merawat anggota tubuh.
Peserta didik mengenal teman-teman yang ada di lingkungan
rumah.
Yesus Kristus
Peserta didik mengenal kisah kelahiran Yesus dan keluarga
Yesus yang tinggal di Nazaret.
Gereja
Peserta didik mampu mengenal sikap berdoa dan membuat
tanda salib dengan baik dan benar, serta membiasakan diri
berdoa Bapa Kami dan Salam Maria.
Masyarakat
-
Capaian Pembelajaran Pendidikan Khusus Pendidikan Agama
Katolik Dan Budi Pekerti (PAKaBK) fase lain dapat di lihat di bawah ini:
Capaian Pembelajaran Pendidikan Khusus Pendidikan Agama
Katolik Dan Budi Pekerti Fase A (unduh)
Capaian Pembelajaran Pendidikan Khusus Pendidikan Agama
Katolik Dan Budi Pekerti Fase B (unduh)
Capaian Pembelajaran Pendidikan Khusus Pendidikan Agama
Katolik Dan Budi Pekerti Fase C (unduh)
Capaian Pembelajaran Pendidikan Khusus Pendidikan Agama
Katolik Dan Budi Pekerti Fase D (unduh)
Capaian Pembelajaran Pendidikan Khusus Pendidikan
Agama Katolik Dan Budi Pekerti Fase E (unduh)
Capaian Pembelajaran Pendidikan Khusus Pendidikan
Agama Katolik Dan Budi Pekerti Fase F (unduh)
data berdasarkan KEPUTUSAN KEPALA BADAN STANDAR, KURIKULUM, DAN
ASESMEN PENDIDIKAN KEMENTERIAN PENDIDIKAN,
KEBUDAYAAN, RISET, DAN TEKNOLOGI NOMOR
033/H/KR/2022 TENTANG CAPAIAN PEMBELAJARAN PADA PENDIDIKAN ANAK USIA
DINI, JENJANG PENDIDIKAN DASAR, DAN JENJANG
PENDIDIKAN MENENGAH PADA KURIKULUM MERDEKA.
Mekaelektronika Mata Pelajaran Pendidikan Agama Katolik dan Budi Pekerti Pendidikan pada dasarnya merupakan tanggung jawab utama dan pertama orang tua, demikian pula dalam hal pendidikan iman anak. Pendidikan iman pertama-tama harus dimulai dan dilaksanakan di lingkungan keluarga, tempat anak mulai mengenal dan mengembangkan iman. Pendidikan iman yang dimulai dalam keluarga perlu dikembangkan lebih lanjut dalam Gereja (Umat Allah), dengan bantuan pastor paroki, katekis, dan guru Pendidikan Agama Katolik di Sekolah Luar Biasa (SLB).
Manusia adalah mahkluk ciptaan yang bermartabat luhur, diciptakan secara istimewa oleh Allah dan disebut sebagai Citra Allah (bdk. Kej 1:26) dengan segala kekhasan yang dimiliki. Gereja pada prinsipnya menegaskan pentingnya pendidikan bagi semua orang tanpa kecuali, termasuk penyandang disabilitas, atau anak berkebutuhan khusus. Dalam Alkitab, kita menemukan banyak hal tentang bagaimana kasih Allah dinyatakan kepada setiap manusia ciptaan-Nya. Selama hidupNya, Yesus telah memperlihatkan kasih Allah dengan “membuat orang buta melihat, orang lumpuh berjalan, orang kusta menjadi tahir, orang tuli mendengar…” (bdk: Luk 7:22; 4:18-19). Dalam kelemahan dan penderitaan-Nya, Yesus Kristus memancarkan sukacita dan harapan akan Kerajaan Allah. Dimensi biblis-eklesiologis yang menjadi dasar pandangan ini ialah gambaran Gereja sebagai Tubuh Kristus. Tubuh Kristus merangkul setiap pribadi, baik kelebihan dan kekurangannya. Setiap anggota merupakan bagian dari Tubuh Kristus (1 Kor 12); masing-masing merupakan bagian dari satu Tubuh, sesuai perannya. Dalam Tubuh Kristus, tidak ada tempat bagi anggota yang mengklaim paling berjasa; justru yang tampak lemah memberi peran penting. Dalam perspektif ini, pribadi disabilitas diterima sebagai kekayaan dalam komunitas. Disabilitas ditempatkan dalam kerangka formasi kematangan pribadi dalam komunitas: Setiap orang perlu belajar menerima kelemahannya dalam hidup bersama. Keterbatasan fisik dan mental bukan alasan yang mengurangi keluhuran martabat seseorang sebagai anggota persekutuan. Dalam hal inilah, Konsili Vatikan II dalam pernyataannya tentang Pendidikan Kristen (Gravisium Educationis) menandaskan bahwa, “Semua orang dari suku, kondisi atau usia manapun juga, berdasarkan martabat mereka selaku pribadi mempunyai hak yang tak dapat diganggu gugat atas pendidikan....”
Semangat dan perhatian Gereja pada pendidikan di SLB sejalan dengan semangat negara Indonesia dalam mewujudkan pendidikan yang berlandaskan pada nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945. Negara menjamin hak setiap peserta didik untuk memperoleh pendidikan iman sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing. Hal tersebut ditegaskan lagi pada Undang-undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. Negara Kesatuan Republik Indonesia menjamin kelangsungan hidup setiap warga negara, termasuk menjamin hak para penyandang disabilitas untuk memperoleh pendidikan. Salah satu bentuk perwujudannya adalah dengan menyelenggarakan pendidikan iman (agama) secara formal di SLB, di antaranya, melalui Mata Pelajaran Pendidikan Agama Katolik dan Budi Pekerti bagi peserta didik berkebutuhan khusus dengan hambatan intelektual. Hal ini dimaksudkan untuk mengembangkan potensi peserta didik secara optimal sesuai kemampuannya.
Belajar Pendidikan Agama Katolik dan Budi Pekerti mendorong peserta didik menjadi pribadi beriman yang mampu menghayati dan mewujudkan imannya dalam kehidupan sehari-hari. Mata pelajaran Pendidikan Agama Katolik dan Budi Pekerti membekali peserta didik dengan pengetahuan, sikap, dan keterampilan yang bersumber dari Kitab Suci, Tradisi, Ajaran Gereja (Magisterium), dan pengalaman iman peserta didik. Kurikulum Pendidikan Agama Katolik dan Budi Pekerti diharapkan mampu mengembangkan kemampuan mengenal, mengetahui, memahami, menghayati, mengungkapkan, mensyukuri, dan mewujudkan iman para peserta didik. Mata pelajaran Pendidikan Agama Katolik dan Budi Pekerti disusun secara terencana dan berkesinambungan dalam rangka mengembangkan kemampuan peserta didik untuk memperteguh iman dan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa sesuai ajaran iman Gereja Katolik, dengan tetap memperhatikan penghormatan terhadap agama dan kepercayaan lain. Hal ini dimaksudkan juga untuk menciptakan hubungan yang harmonis antar umat beragama dalam masyarakat Indonesia yang majemuk demi terwujudnya persatuan nasional berdasarkan nilai-nilai semangat Pancasila dan UUD 1945.
Tujuan Mata Pelajaran Pendidikan Agama Katolik dan Budi Pekerti. Mata pelajaran Pendidikan Agama Katolik dan Budi Pekerti bertujuan:
1. agar peserta didik memiliki pengetahuan, keterampilan, dan
sikap membangun hidup yang semakin beriman (beraklak mulia);
2. membangun hidup beriman Kristiani yang berarti membangun
kesetiaan pada Injil Yesus Kristus, yang memiliki keprihatinan
tunggal, yakni Kerajaan Allah. Kerajaan Allah merupakan situasi
dan peristiwa penyelamatan, situasi dan perjuangan untuk
perdamaian dan keadilan, kebahagiaan dan kesejahteraan,
persaudaraan dan kesetiaan, serta kelestarian lingkungan hidup;
dan
3. mendidik peserta didik menjadi manusia paripurna yang
berkarakter mandiri, bernalar kritis, kreatif, bergotong royong,
dan berkebinekaan global sesuai dengan tata paham dan tata nilai
yang diajarkan dan dicontohkan oleh Yesus Kristus sehingga
nilai-nilai yang dihayati dapat tumbuh dan membudaya dalam sikap
dan perilaku peserta didik (Profil Pelajar Pancasila).
Karakteristik Mata Pelajaran Pendidikan Agama Katolik dan Budi Pekerti Mata pelajaran Pendidikan Agama Katolik dan Budi Pekerti diorganisasikan dalam lingkup empat elemen konten dan tujuh kecakapan. Empat elemen konten tersebut adalah:
Elemen |
Deskripsi |
Pribadi Peserta Didik |
Elemen ini membahas tentang diri sebagai lakilaki atau
perempuan yang memiliki kemampuan dan keterbatasan,
kelebihan dan kekurangan, yang dipanggil untuk membangun
relasi dengan sesama serta lingkungannya sesuai dengan
Tradisi Katolik. |
Yesus Kristus |
Elemen ini membahas tentang pribadi Yesus Kristus yang
mewartakan Allah Bapa dan Kerajaan Allah, seperti yang
terungkap dalam Kitab Suci Perjanjian Lama dan Perjanjian
Baru, agar peserta didik berelasi dengan Yesus Kristus dan
meneladani-Nya. |
Gereja |
Elemen ini membahas tentang makna Gereja agar peserta
didik mampu mewujudkan kehidupan menggereja. |
Masyarakat |
Elemen ini membahas tentang perwujudan iman dalam hidup
bersama di tengah masyarakat sesuai dengan Tradisi
Katolik. |
Kecakapan dalam mata pelajaran Pendidikan Agama Katolik dan Budi Pekerti adalah mengenal, mengetahui, memahami, menghayati, mengungkapkan, mensyukuri, dan mewujudkan. Dengan memiliki kecakapan mengenal, mengetahui, dan memahami, peserta didik diharapkan memiliki pengenalan, pengetahuan, dan pemahaman ajaran iman Katolik yang otentik. Kecakapan menghayati membantu peserta didik memiliki penghayatan iman Katolik sehingga mampu mengungkapkan dan mensyukuri iman dalam berbagai ritual ungkapan iman dan pada akhirnya mampu mewujudkan iman dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat. Kecakapan ini merupakan dasar pengembangan konsep belajar Pendidikan Agama Katolik dan Budi Pekerti.
Capaian Pembelajaran Mata Pelajaran Pendidikan Agama Katolik dan Budi Pekerti pendidikan khusus mengacu pada peserta didik berkebutuhan khusus dengan hambatan intelektual. Peserta didik berhambatan intelektual yang dimaksud adalah tunagrahita, autis, tunanetra dengan hambatan intelektual, tunarungu dengan hambatan intelektual, dan tunadaksa dengan hambatan intelektual. Oleh karenanya, Capaian Pembelajaran Pendidikan Agama Katolik dan Budi Pekerti bagi peserta didik berkebutuhan khusus yang mempunyai hambatan intelektual atau retardasi mental diklasifikasikan menjadi enam fase berdasarkan usia mental. Adapun keenam fase usia mental tersebut adalah: fase A umumnya usia mental ≤ 7 tahun untuk kelas I dan kelas II, fase B umumnya usia mental ± 8 tahun untuk kelas III dan kelas IV, fase C umumnya usia mental ± 8 tahun untuk kelas V dan kelas VI, fase D umumnya usia mental ± 9 tahun untuk kelas VII, kelas VIII dan kelas IX, fase E umumnya usia mental ±10 tahun untuk kelas X, dan fase F umumnya usia mental ±10 tahun untuk kelas XI dan kelas XII. Capaian Pembelajaran Mata Pelajaran Pendidikan Agama Katolik dan Budi Pekerti setiap Fase A (Usia Mental ≤ 7 Tahun, Umumnya Kelas I dan kelas II). Pada akhir fase A, peserta didik dapat mengenal bahwa dirinya dicintai Tuhan, mengenal anggota tubuhnya, merawat anggota tubuhnya (pola hidup sehat, bersih, dan santun berpakaian), mengenal kisah kelahiran Yesus, mengenal sikap berdoa dan membuat tanda salib, mengenal diri dan keluarganya, mengenal diri dan temannya di lingkungan rumah, mengenal kisah Keluarga Yesus tinggal di Nazaret, mengenal doa Bapa Kami dan doa Salam Maria. Pada akhirnya peserta didik dapat menghayati, mensyukuri dan mewujudkan apa yang dipelajarinya dalam kehidupan seharihari. Fase A Berdasarkan Elemen:
Elemen |
Deskripsi |
Pribadi Peserta Didik |
Peserta didik mampu mengenal bahwa dirinya dicintai Tuhan
dengan berbagai macam anugerah yang telah didapatkannya,
antara lain anggota tubuh dan keluarga; serta mewujudkan
rasa syukur dengan merawat anggota tubuh.
Peserta didik mengenal teman-teman yang ada di lingkungan
rumah. |
Yesus Kristus |
Peserta didik mengenal kisah kelahiran Yesus dan keluarga
Yesus yang tinggal di Nazaret. |
Gereja |
Peserta didik mampu mengenal sikap berdoa dan membuat
tanda salib dengan baik dan benar, serta membiasakan diri
berdoa Bapa Kami dan Salam Maria. |
Masyarakat |
- |
Capaian Pembelajaran Pendidikan Khusus Pendidikan Agama Katolik Dan Budi Pekerti (PAKaBK) fase lain dapat di lihat di bawah ini: